Devi
Biasanya pelajaran pertama yang dipelajari banyak orang untuk menjadi komunikator ulung adalah berbicara. Padahal mendengarkan adalah jalan masuk kebijaksanaan yang utama bagi komunikator ulung yang menjadi landasan untuk memahami diri dan seluruh kehidupan ini.
Sewaktu saya kecil kadang-kadang saya juga tidak menuruti nasihat orangtua, layaknya anak-anak kecil lainnya. Misalnya, sudah maghrib tetapi masih bermain-main di pancuran Air di dekat pabrik es yang sudah lama Mangkrak...terkena Imbas Krisis Global..ck ck.., atau tengah asyik memancing Iwak Haruan je di Pahuma'an. Di desa saya apabila waktu maghrib tiba, maka warga tidak ada yang berada di luar rumah. Mereka pergi ke surau atau masjid. Kalaupun tidak beribadah di surau atau masjid tersebut, warga hendaknya berada di dalam rumah. Sebagai hukuman atas kesalahan itu, ibu menjewer telinga saya.
Kini setelah dewasa, saya tidak pernah dijewer ibu lagi. Bukan karena tidak pernah ada peraturan yang saya langgar, melainkan badan saya sudah lebih tinggi daripada badan ibu. Jadi, bila ibu mau menjewer telinga saya dijamin tidak akan sampai. Lagi pula memang saya tidak pernah nakal lagi. (Bukannya nakal adalah pelanggaran peraturan oleh orang yang belum dewasa? Cobalah sempatkan Anda membaca Kitab Undang Undang Hukum Pidana tentang definisi “nakal”. Oleh sebab itu, bila ada penyebutan hakim nakal, polisi nakal, jaksa nakal, pejabat nakal, maka sebutan itu tidak tepat. Penyebutan yang tepat adalah Hakim jahat, polisi jahat, jaksa jahat, dan pejabat jahat. Sudah tua koq masih disebut nakal!). Malahan ”kenakalan” saya sering sulit dimengerti, sudah bertahun-tahun diajari tetapi saya masih saja tidak mengerti. Mulai dari melanggar lampu lalu lintas yang sedang menyala merah, mengerjakan tugas secara asal-asalan, hingga tidak memedulikan kesusahan orang lain. Sebagian karena penggunaan telinga yang kurang benar.
Telinga digunakan untuk mendengar dan mendengarkan. Dalam kajian komunikasi, antara mendengar dan mendengarkan artinya berbeda. Mendengar berkenaan dengan penerimaan rangsang suara secara datar dan tidak mendalam atau tidak disengaja. Sedangkan mendengarkan bertalian dengan proses psikologis yang aktif. Proses ini melibatkan hati, pikiran, telinga, dan mata. Dengan kata lain, mendengar hanyalah proses sensasi. Mendengarkan lebih dari sekadar sensasi, melainkan juga berpikir dan berempati. Jadi, mendengarkan bukanlah usaha yang gampang. Mendengarkan adalah usaha yang memerlukan energi dan perhatian yang tinggi.
Dalam budaya tradisi Cina untuk kata mendengarkan, yang diucapkan “ting”, tersusun dari empat huruf: hati, pikiran, telinga, dan mata . Maknanya, si pendengar mesti menggunakan elemen-elemen itu agar hasil dari aktivitas mendengarkan menghasilkan nilai kebaikan dalam berkomunikasi. Nilai ini bermanfaat bukan saja bagi pihak yang mendengarkan, melainkan juga bagi pihak yang
berbicara. Gunanya bagi pihak yang mendengarkan adalah bahwa pendengar mampu menerima informasi dengan tepat, memahami maksud orang lain, aspirasi, dan kecemasan mereka. Bagi pembicara hal itu bermanfaat karena ia merasa diterima dan dihargai pembicaraannya, dan terjalinnya hubungan sosial yang erat dengan pendengar. Barang siapa mendengarkan dengan memperhitungkan keempat elemen tersebut, ia akan menjadi pembicara sekaligus pendengar yang ulung. Ya, ia akan menjadi komunikator yang ulung.
Selasa, 16 Juni 2009
* Jurus Ampuh Komunikasi
Diposting oleh Devi Winda Sari (vie) di 09.56 0 komentar
Langganan:
Postingan (Atom)
--" Awas!! Coment gak pantas Kena ban otomatis..."
Bagi kAmu Yang Ngaku Anak KomuNikAsi